DPJatim

Guru : Dilema Antara Status dan Role

Oleh Prof. Dr. Warsono, MS (Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur)

Rencana Pemerintah memalui Kemendikbudristek untuk melakukan perubahan atas undang-undang sistem pendidikan nasional telah menimbulkan kritik yang cukup tajam terutama dari organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).  Salah satu kritiknya adalah penempatan posisi guru sebagai tenaga kerja dan dihilangkannya tunjangan profesi guru dalam naskah RUU Sisdiknas. Meskupun dalam naskah RUU tersebut guru masih didefinisikan sebagai pendidik yang professional, hak untuk memperoleh tunjangan profesi tidak tertulis secara jelas.

Terlepas dari bagaimana seharusnya menghargai guru, sebenarnya ada persoalan yang perlu dikaji yaitu apakah  guru itu pendidik atau profesi?, Jika guru itu profesi apakah sama dengan profesi yang lain seperti dokter, pengacara, atau apotiker. Profesi dokter, pengacara, atau apotiker bisa dijadikan  “modal” untuk hidup secara mandiri yaitu dengan membuka praktek, seperti dokter atau pengacara. Bagaimana dengan profesi guru, apakah bisa dijadikan “modal” untuk hidup mandiri?  Dalam prakteknya selama ini sejak undang-undang guru dan dosen diundangkan dan untuk menjadi guru harus mengikuti pendidikan profesi guru,  namun sertifikat profesi tersebut tidak bisa digunakan untuk modal hidup secara mandiri. Guru tidak bisa membuka praktik pendidikan secara mandiri.

Guru memang bukan profesi tetapi seorang pendidik yang berbeda dengan profesi atau pekerjaan lainnya. Tugas guru tidak membuat sesuatu yang kelihatan, seperti jembatan, bangunan atau yang bersifat material, tetapi menyiapkan anak agar mampu mengambil peran di masa depan dan mampu survive secara mandiri. Tugas guru adalah mengembangkan sumber daya manusia, membangun suatu peradaban dan kemartabatan, Tugas  itulah yang membuat guru merupakan status yang mulia, karena gurulah yang meneyebabkan kita bisa pandai dan beretika. Oleh karena itu, ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagashaki, yang dipertanyakan oleh Kaisar Hirohito adalah berapa guru yang masih tersisa. Dengan masih adanya guru, maka bisa dihasilkan sumber daya manusia lagi. Kemuliaan inilah yang seharusnya dihargai lebih dari profesi lainnya, sebab profesi-profesi yang lain itu lahir dari peran seorang guru.

Memang  harus diakui bahwa sebagian masyarakat juga masih mempertanyakan, apakah para guru telah menjalankan peran sesuai dengan statusnya. Secara sosiologis, setiap status akan selalu dikuti oleh role (peran) yang harus dilakukan oleh pemiliknya. Seperti seorang laki-laki yang sudah menikah memiliki status sebagai suami, yang didalamnya melekat peran sebagai kepala rumah tangga dan memberi nafkah terhadap istrinya.  Jika demikian  apa  peran yang harus dilakukan oleh guru?. Menurut Ki Hadjar Dewantara diantara  peran  guru, adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Guru harus menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat. Guru harus memiliki moral yang baik, yang implikasinya sikap dan perilakunya tidak boleh melanggar norma-norma hukum,  norma moral dan agama. Peran seperti ini yang kemudian memunculkan istilah  bahwa guru itu ditiru.

Prof. Dr. Warsono, MS. – Dewan Pendidikan Jawa Timur

Guru juga harus mampu memperbaiki yang kurang baik, membenarkan yang salah dari sikap, perilaku dan pemikiran siswanya. Untuk menjalankan peran itu, guru harus memiliki ilmu dan kemampuan  berpikir yang krtis, kreatif, inovatif, analistis, abstraktif dan reflektif. Dengan kata lain, guru ditutut memiliki kemampuan berpikir secara scientific dan pilosophis. Dengan kemampuan berpikir tersebut, guru  bisa menjadi pencerah dan memberi solusi atas masalah yang ada. Peran inilah yang menimbulkan sebutan bahwa guru itu digugu, sebagai pelangkap dari guru itu di tiru, sehingga guru merupakan akronim dari digugu dan ditiru.

Peran lain yang melekat dengan status guru adalah Tut Wuri Handayani, artinya guru juga harus mau memberi kesempatan dan mendorong  siswanya untuk berani berkreatifitas dan mengambil keputusan. Peran guru tersebut bisa diibaratkan, pada awalnya guru harus  tampil di depan  memberi contoh siswanya.  Kemudian dalam perjalanan berikutnya guru  berada di tengah-tengah siswanya untuk membimbing dan memperbaiki, jika ada yang kurang dan pada gilirannya guru berada dibelakang untuk mendorong siswanya maju mengambil peran.

Dalam kenyataannya, memang belum semua guru mampu menjalankan peran sebagai Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Para guru harus melakukan koreksi diri apakah peran sebagai tulodho, pembimbing dan pendamping serta motivator kepada para siswa sudah dijalankan dengan  baik. Jika para guru telah dengan ikhlas menjalankan peran seperti yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, maka  guru merupakan status yang “mulia” dan harus dihargai oleh siapapun juga. Tanpa guru tidak akan lahir profesi-profesi lain. Gurulah yang mengajarkan kita membaca, menulis, etika, dan berpikir.  Oleh karena itu, guru seharusnya memperoleh penghargaan dan kehormatan dengan memberi jaminan atas kesejahteraannya.

Bagikan :