oleh : Prof. Dr. Warsono, MS

Maraknya perilaku guru yang mencabuli muridnya, seperti yang terjadi di Garut, Cianjur dan Sulteng tentu sangat memprihatinkan kita semua. Guru yang seharusnya menjadi suriteladan (ditiru) oleh para muridnya malah melakukan tindakan yang melanggar kesusilaan dan kesopanan. Fenomena ini tidak lepas dari lunturnya kultur pendidikan guru di lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang dulu dikenal dengan nama IKIP.
Terminologi guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru telah melekat dalam masyarakat, khususnya jawa. Guru merupakan sosok yang berpengetahuan luas dan bermoral tinggi, sehingga menjadi pencerah (digugu) dan panutan (ditiru) bukan hanya bagi murid-muridnya, tetapi juga masyarakat sekitarnya. Dengan status dan peran seperti itulah yang menyebabkan guru mendapat tempat terhormat di masyarakat.
Guru sebagai sosok yang digudu menunjukan bahwa untuk menjadi guru harus memiliki kemampuan intelektual yang baik. Persyaratan intelektual ini pernah diakui dan dialami oleh Dr. (HC) Abdul Kadir Baradja. Menurut cerita Beliau, sedari kecil bercita-cita menjadi guru. Ketika lulus SMA Beliau mendaftar ke IKIP dengan harapan bisa menjadi guru. Namun cita-citanya kandas. Karena ditolak (tidak diterima) masuk ke IKIP. Meskipun tidak diterima di IKIP, Beliau justru malah diterima di ITS. Pengalaman itulah yang menurut Belliau menunjukan bahwa syarat masuk IKIP lebih berat daripada masuk ITS.
Meskipun bukan lulusan kependidikan, cita-cita dan semangat Beliau menjadi guru tidak pernah luntur. Oleh karena itu, Beliau mendirikan sekolah Al Hikmah mulai dari PAUd sampai perguruan tinggi untuk bidang pendidikan. Melalui lembaga pendidikan tingg yang ada di Al Hikmah, Beliau ingin menelaorkan guru-guru hebat, karena hanya dengena guru yang hebatlah pndidikan bisa menghasilkan orang-orang yang hebat.
Selain digugu dan ditiru, status guru didalamnya mengandung peran sebagai orang tua dan pendidik, yang tugasnya adalah mengayomi, mengasihi dan mendidik murid-muridnya agar menjadi orang-orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. M Nuh ( mantan menteri pendidikan dan kebudayaan) ketika masih menjadi rektor ITS, menyatakan bahwa pendidik harus memiliki keiklasan, kasih sayang dan idealisme (cita-cita). JIwa seperti ini yang seharusnya dimiliki dan dilakukan oleh guru. Sebagai orang tua, yang menyayangi anak-anaknya, dan selalu berdoa agar anak-anaknya menjadi orang-orang yang berguna. Semua itu dilakukan dengan ikhlas.
Untuk menjadi guru harus melalui proses pendidikan yang diselengarakan oleh lembaga pendidikan, seperti SPG, IKIP, yang sekarang sebagian besar sudah berganti nama menjadi univesitas, seperti Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya) dan Universitas Negeri Malang (sebelumnya IKIP Malang). Di lembaga-lembaga tersebut pribadi guru dibentuk melalui suatu pembiasaan dan aturan, yang ketat.
Pembiasaan tersebut diharapkan menjadi budaya dan pada akhirnya akan membentuk karakter. Salah satu pembiasaan adalah bagaimana cara mereka berpakaian, bertutur kata dan bersikap. Saya masih inggat ketika tahun 1970, mahasiswa-mahasiswa di IKIP jika memanggil temannya selalu menggunakan kata Pak ….. atau Bu ….. Panggilan ini mungkin terasa aneh, bagi mahasiswa yang kuliah di universitas. Namun panggilan tersebut sebenarnya merupakan cara untuk membangun pribadi bahwa meraka adalah orang tua bagi para muridnya. Sebagai orang tua rasanya mustahil, jika sampai mencabuli muridnya sendiri.
Sayangnya kebiasaan memanaggil temannya dengan panggilan Pak dan Bu sudah jarang ditemukan di lingkungan lembaga pendidikan penghasil guru. Bahkan cara bertutur kata serta cara berpakaian sudah tidak ada bedanya dengan mahasiswa yang non kependidikan. Akibatnya kesadaran sebagai orang tua bagi para calon guru tidak terbentuk, sehingga tidak mustahil jika muncul perilaku guru yang melanggar kesusilaan dan kesopanan terhadap muridnya sendiri.
Selain faktor budaya, perkembangan dunia yang disertai dengan mudahnya akses film-film porno juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang dari para guru. Bagimanapun ketika menonton film-film yang tidak senonoh, akan memberikan rangsangan libido yang bisa membuat orang lupa diri. Namun demikian, jika kesadaran dirinya sebagai orang tua kuat, rangsangan seksual bisa dieleminir.
Oleh karena itu, pembentukan karakter bagi guru menjadi yang sangat penting untuk mencegah terjadinya tidakan asusila terhadap murid. Pembentukan karakter ini harus terus dilakukan dan diingatkan kepada para guru, untuk mencegah tejadinya perbuatan yang melanggar kesusilaan di lingkungan sekolah. Dengan guru-guru yang berjiwa pendidik dan sekaligus berperan sebagai orang tua dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan kesopanan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya.