Oleh : Prof. Dr. Warsono, MS (Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur)
Pendahuluan
Sumber daya manusia yang unggul merupakan modal dasar dari kemajuan suatu bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa kemajuan suatu bangsa bukan ditentukan oleh sumber daya alam yang dimiliki. Brasil dan Indonsia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun tetap menjadi negara yang berkembang. Kemajuan bangsa juga tidak ditentukan oleh usia kemerdekaannya. Mesir merupakan negara yang telah berusia ribuan tahu, tetapi juga tiak menjadi negara yang maju. Kemajuan bangsa juga bukan ditentukan oleh jumlah penduduk. India dan Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke dua dan keempat di dunia, tetapi juga tetap menjadi negara berkembang sampai saat ini.
Sementara Jepang dan Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah menjadi negara maju. Korea Selatan negara yang seusia dengan Indonesia dan tdiak memiliki sumber daya alam juga menjadi negara maju. Kemajuan Korea Selatan disebabkan mereka memiliki sumber daya manusia yang kreatif, disiplin, mau kerja keras dan bertanggung jawab sebagai modal untuk menjadi negara maju.
Jika menilik negara-negara yang maju, mereka umumnya memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, baik secara intelektual maupun dari sisi karakter. Negara-negara Eropa menjadi negara maju setelah terjadi Renaissance. Renaissance merupakan gerakan yang menuntut kebebasan berpikir seperti yang dimiliki oleh orang orang Yunani Kuno. Bahkan Jerman secara tegas menyatakan Aufklarung (berani berpikir). Sebelum adanya renaissance Eropa juga mengalami keterpurukan. llmu dan teknologi tidak bisa berkembang karena kebenaran dimonopoli oleh dogma gereja.
Semenjak gerakan Renaissance, perkembangan ilmu dan teknologi di Eropa maju pesat. Banyak penemuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Diawali dengan Temuan Issac Newton tentang grafitasi dan teleskop pembias. Kemudian James Watt menemukan mesin uap dan Michael Farady menemukan listrik. Temuan-temuan tersebut yang kemudian melahirkan revolusi industri 0.1 yang terus berlanjut sampai saat ini yaitu revolusi industry 4.0. Penemuan-penemuan tersebut sebagai akibat dari adanya kebebasan dan keberanian berpikir yang berkembang sejak renaiasance.
Selain budaya berpikir, Eropa khususnya Inggris memiliki budaya mengelola waktu dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari konsep time is money (waktu adalah uang). Konsep ini berkaitan dengan dengan budaya disiplin dan produktif. Waktu yang memang terbatas tersebut harus dimanfaatkan dan dikelola dengan baik untuk kegiatan-kegiatan yang produktif. Waktu tidak dibiarkan hilang sia-sia, tetap diisi dengan kegiatan yang produktif.
Amerika menjadi negara maju karena mewarisi tradisi berpikir yang dibawa oleh orang-orang Eropa. Penduduk Amerika Serikat sebagian besar adalah pendatang dari Eropa. Selain membawa tradisi berpikir ilmiah, mereka juga membawa teknologi yang sudah berkembang di Eropa. Amerika memiliki moralitas yang menempatkan Tuhan sebagai yang tertinggi. Hal ini bisa dilihat dalam semboyannya yaitu In God We Trust (kepada Tuhan kita percaya). Semoboyan tersebut tertulis dalam uang kertas (dollar) Amerika Serikat.
Singapura menjadi negara yang maju karena menawarkan suatu prinsip efisiensi dan kerja keras serta menjunjung tinggi keterbukaan, multikularisme dan menentukan nasib sendiri. Dengan menyadari kondisinya sebagai negar kecil dan tidak memiliki sumber daya alam, Singapura menawarkan suatu pelayanan yang efisien, Sedangkan Korea Selatan menajdi negara maju karena menciptakan tantangan yaitu ingin menggungguli Jepang. Mereka merasa “sakit hati” karena pernah dijajah oleh Jepang. Oleh karena itu, mereka memiliki semboyan harus bisa mengalahkan Jepang, meskipun bukan secara politik atau perang. Semboyan inilah yang kemudian memacu Korea Selatan untuk bekerja keras dalam mengembangkan ilmu dan teknologi. Sekarang telah terbukti, bahwa produk-produk elektronik Korea Selatan seperti Samsung, telah menggungguli produk sejenis dari Jepang.
Dari pengalaman negara-negara maju, dapat ditarik pelajaran bahwa kemajuan suatu bangsa terlelak pada keunggulan sumber daya manusia, terutama pada keunggulan karakter dan intelektual. Oleh karena itu, pendidikan menjadi factor yang sangat strategis dalam pembentukan karakter dan pengembangan intelektual, sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.
Menurut Tang dan Eriksson, kompetensi yang dibutuhkan di masa depan adalah Critical thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration yang kemudian dikenal dengan 4C. Namun 4C tersebut perlu dilengkapi dengan Character agar lebih “sempurna”. Bagaikan dalam pelajaran makan 4 sehat 5 sempurna. Dengan Critical thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration (4C) bisa dikatakan sudah bagus (sehat dan bisa maju, tetapi akan lebih baik lagi jika dilengkapi dengan character. sehingga menjadi 5C.
Menurut Yudi Latif, karakter ibarat akar tunjang bagi gerak dan tumbuh suatu pohon. Tanpa akar tunjang yang kuat, sehebat apapun laju pertumbuhan suatu pohon akan mudah roboh diterjang angin. Begitu juga suatu bangsa, jika tidak memiliki karakter yang kuat, maka bangsa tersebut tidak memiliki wisdom dalam kehidupannya. Oleh karena itu, para pendiri negara dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan karakter bangsa (nation and character building) menjadi sangat penting, disamping pembangunan negara dan bangsa (nation-staate). Dengan karakter memungkinkan manusia bisa bersikap bijak (wisdom) dalam kehidupan. Karakter ini yang akan menentukan keberhasilan mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Pendidikan untuk apa dan siapa
Pertanyaan tersebut merupakan persoalan mendasar yang perlu kita renungkan. Menurut Dick Hartoko, pendidikan merupakan upaya untuk memanusiakan manusia. Ki Hadiar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sedangkan menurut Yudi Latif pendidikan merupakan upaya untuk menuju ke keberadaban. Oleh karena itu pendidikan harus berbasis kepada kebudayaan.
Menurut Notonagoro, kodrat manusia merupakan makhluk yang monopluralis, yang terdiri dari tiga kodrat yaitu susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat. Susunan kodrat terdiri dari unsur rohani dan jasmani. Rohani terdiri dari; akal, rasa dan karsa. Jasmani terdiri dari benda mati, tumbuhan dan kebinatangan. Sifat kodrat terdiri dari makhluk sosial dan individu. Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendirian. Dia selalu membutuhkan kehadiran orang lain dan hidup bersama dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan pandangan kaum eksistensialisme yang mengetakan bahwa keberadaan manusia itu ada secara bersama-sama. Sedangkan sebagai individu, manusia memiliki ke-aku-an (behaving, kepemilikan), sehingga dia bisa menjadikan dirinya sebagai subyek dan sadar akan dirinya, Kedudukan kodrat manusia terdiri dari makhkluk pribadi yang memiliki kebebasan dan sebagai makhluk Tuhan yang bersifat tidak abadi,
Dalam kodrat manusia tersebut ada unsur negatif dan unsur positif. Unsur negatif berupa jasmani, ke-aku-an, dan kebebasan. Unsur-unsur tersebut jika dibiarkan memiliki potensi untuk menimbulkan keserakahan, kesewenang-wenangan dan konflik. Sedangkan unsur positifnya adalah rohani, makhluk sosial dan makhluk Tuhan (Warsono). Unsur ini akan membimbing manusia kearah wisdom, toleransi dan relegius. Pendidikan diharapkan mengembangkan unsur positif dan mengendalikan unsur negatif.
Menurut Prof Zainuddin Maliki anggota DPR RI dari komisi X yang sekaligus juga penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur pendidikan harus memenuhi tiga prinsip yaitu liberalisasi, humanisasi dan transendensi (disampaikan dalam forum diskusi para guru besar alumni HMI tanggal 21 Maret 2021). Liberalisasi memberi kebebasan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya. Hal ini seperti gerakan Renaissance yang terjadi di Eropa, yang menuntut kebebasan berpikir seperti orang-orang Yunani. Humanaisasi dimaksudkan untuk membangun keberadaban, seperti yang dikatakan oleh Yudi Latif maupun Dick Hartoko. Humanisasi berarti berkaitan dengan pendidikan karakter. Sedangkan transendensi dimasudkan untuk membentuk akhlaqul kharimah yang berbasis pada ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari rumusan dalam undang-undang Sisdiknas dapat disederhanakan bahwa yang akan dicapai dalam pendidikan nasional adalah manusia yang relegius, cerdas, berkarakter dan sehat. Relegius digambarkan sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cerdas digambarkan dengan berilmu, cakap, kreatif. Sedangkan berkarakter digambarkan dengan manusia yang berakhlaq mulia, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Rumusan tersebut juga sesuai dengan kodrat manusia yaitu susunan kodrat yang lebih mengutamakan akal (berilmu, cakap, kreatif). Bertawa kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan kedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan. Karakter sesuai dengan sifat kodrat sebagai makhluk sosial. Ini berarti pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan unsur-unsur positif dalam diri manusia. Dengan unsur-unsur positif tersebut manusia akan menjadi “manusia” yang berderajat mulia.
Pendidikan bukan hanya untuk kepentingan negara, tetapi juga untuk kepentingan bangsa (masyarkat) dan peserta didik itu sendiri. Bagi peserta didik pendidikan adalah sebagai sarana untuk mengembangkan potensi diri, agar mereka bisa survive (mandiri) dalam menghadapi tantangan kehidupan. Bagi bangsa dan negara, pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang unggul, sehingga dapat mengemban tugas memajukan negara dan menciptakan suatu kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang adil makmur dan sejahtera.
Kepentingan negara dan bangsa akan terpenuhi, jika pendidikan mampu menghasilkan outcome pribadi-pribadi yang berakhlaq mulia, cerdas, berkarakter dan sehat. Pribadi yang demikian memiliki produktivitas yang tinggi, sehingga mampu memberi kontribusi terhadap bangsa dan negara, karena produktivitasnya sudah melebih tingkat kebutuhannya sendiri. Untuk itu, karakter nasionalisme harus ditanamkan secara kuat dalam setiap warga negara. Dengan karakter nasionalis orang akan bangga dan mengabdikan dirinya secara total untuk bangsa dan negara.
Pendidikan karakter
Pendidikan merupakan suatu proses yang berkelanjutan mulai dari TK sampai ke perguruan tinggi, atau dari pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar, menengah sampai ke perguruan tinggi. Pendidikan pra sekolah menjadi fundamen utama dalam menentukan arah perkembagan anak, karena di situlah karakter anak dibentuk. Pendidikan dasar mendasari pendidikan menengah dan pendidikan menengah mendasari pendidikan tinggi. Bertolak dari konsep John Lock, bahwa anak bagaikan tabularasa (kertas kosong). Konsep tabularasa harus dipahami bahwa anak yang baru lahir itu bagaikan kertas kosong karena belum memiliki pengetahuan. Di sisi lain, anak yang baru lahir bagaikan kertas putih yang masih suci (jujur). Anak kecil belum bisa bohong. Kebohongan adalah hasil pendidikan di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pendidikan harus bisa mengisi ruang kosong pengetahuan dengan mengembangkan kemampuan berpikir yang cerdas, kreatif, sehingga mampu mengembangkan ilmu dan teknologi. Sekaligus pendidikan juga harus “menjaga” agar kararakter anak tetap baik (jujur).
KeJujuran merupakan karakter yang paling mendasar yang dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan. Menurut Robert Putnan kejujuran merupakan modal sosial (social capital). Kita bisa membayangkan seandainya tidak ada kejujuran dalam kehidupan, pasti akan terjadi kekacauan. Misal, dalam satu keluarga atau organisasi semua anggotanya tidak ada yang jujur, alias bohong semua, apa yang terjadi adalah ketidakpastian. Namun dalam prakteknya kejujuran anak yang dibawa sejak lahir justru tergerus oleh lingkungan yang tidak kondisif. Di lingkungan tersebut anak justru sering memperoleh pelajaran kebohongan.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut perlu melibatkan lembaga keluarga, masyarakat dan sekolah. Perlu ada pembagian tahapan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dari outcome yang diharapkan, pendidikan karakter menjadi pendidikan yang utama yang harus ditanamkan sejak usia dini. Menurut Kholberg dan pera ahli pendidikan. Menyatakan bahwa pendidikan karakter yang paling tepat adalah pada saat usia dini. Bahkan dari hasil penelitian menunjukan bahwa Pendidikan karakter perlu ditanamkan lebih dahulu (sejak kecil) melalui pendidikan di keluarga (warsono).
Keluarga merupakan tempat untuk membangun karakter. Karakter anak dibentuk melalui kebiasaan hidup yang ada di keluarga. Dengan sifat nontoni, nitheni dan niru (Ki Hadjar Dewantara) anak belajar dari perilaku orang tua. Apa yang dilakukan oleh orang tua dan orang-orang di lingkungan keluarga menjadi bahan pelajaran bagi anak. Anak meniru apa yang dilakukan oleh orang tua dan orang-orang yang ada di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, karakter anak sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dan budaya yang dibangun oleh keluarga.
Tanggung jawab orang tua dalam pendidikan yang utama adalah membentuk karakter anak, salah satunya adalah karakter kepemimpinan. Menurut Manief Saha Ghafur (yang diambil dari riset School of Psychology Harvard University), pendidikan karakter terbaik adalah karakter kepemimpinan. Karakter kepemimpinan lebih penting dari kecerdasan akademik (be a great leader and great leadership is more than IQ). Pendidikan karakter kepemimpinan terbaik bukan di sekolah, tetapi di keluarga. Orang tua yang menjadi guru dan model dalam pendidikan karakter. Disinilah pentingnya pendidikan bagi orang tua (parenting education), karena tidak semua orang tua memahami arti pendidikan secara utuh. Bahkan masih banyak orang tua tidak sadar bahwa sikap dan perilaku mereka ditiru oleh anak-anaknya. Di sini berlaku pepatah jawa yang menyebutkan bahwa kacang ora ninggalke lanjaran, buah jatuh tidak jauh dari pohon). Karakter anak tidak jauh beda dengan karakter orang tuanya. Oleh karena itu, keluarga menjadi lembaga pendidikan yang sangat penting dan strategisnya dalam pembentukan karakter. Dalam pendidikan karakter, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama, karena tidak bisa digantikan oleh lebaga lain.
Seringkali kita justru mengabaikan pantingnya pendidikan karakter, dan lebih mengejar kepada pendidikan akademik yang berupa pengetahuan. Atau pendidikan karakter hanya sebatas kepada pengetahuan (moral knowing), sehingga anak tahu apa yang baik dan buruk, tetapi pengetahuan tersebut tidak membimbing atau diimplementasikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari (Lickona). Pendidikan karakter harus sampai kepada perasaan (moral feeling) dan tindakan (moral action), sehingga orang akan merasa malu, salah atau dosa jika tidak melakukannya.
Kkarakter merupakan fundasi yang akan menentukan keberhasilan seseorang atau bangsa. Jika kita salah membangun karakter maka akan sulit untuk diperbaiki. Seperti yang disampaikan oleh Hasyim Muzadi bahwa membuat pinter anak yang sudah benar itu lebih mudah dari pada membuat bener orang yang sudah pinter. Apa artinya orang padai (banyak ilmu) jika karakternya buruk. ILmu yang tidak dilandasi oleh karakter hanya akan mencetak monster-monster dalam kehidupan. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh para elit merupakan contoh kecakapan akademik yang tidak didasari oleh karakter.
Pendidikan akademis dan kejuruan
Secara konsep ada tiga pendidikan yaitu pendidikan akademik (academic education), pendidikan kejuruan (vocation education) dan pendidikan profesi (professional education). Pendidikan profesi berlangsung setelah sarjana, sehingga dalam tulisan ini tidak akan dibahas, karena kurang relevan. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang lebih menekankan kepada pengembangan intelektual (cara berpikir), termasuk di dalamnya keterampilan berpikir, sehingga mampu mengembangkan ilmu dan teknologi. Sedangkan pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang lebih menekankan kepada keterampilan melakukan sesuatu pekerjaan. Dalam pendidikan kejuruan yang lebih dominan adalah kemampuan praktek daripada penguasaan teori. Hal ini berbeda dengan pendidikan akademis yang lebih dominan kepada cara berpikir dan penguasaan teori.
Kedua pendidikan tersebut dilakukan sejak sekolah menengah, yang kemudian terbagi dalam kelompok yaitu SMA sebagai pendidikan akademis dan SMK sebagai pendidikan kejujuran. Pendidikan akademis pada level ini lebih diarahkan untuk memberi bekal peserta didik untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi. Sedangkankan pendidikan kejuruan di level ini lebih diarahkan untuk memasuki dunia kerja, meskipun dalam prakteknya banyak lulusan SMK yang tidak bisa bersaing di dunia kerja. Kedua pendidikan ini sangat dibutuhkan dalam rangka kemandirian lulusan sehingga bisa survive dan menghadapi persaingan global.
Secara kodrati, setiap manusia diberi anugerah modal untuk hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa, yaitu kekuatan fisik, keterapilan dan akal (intelektual). Dari ketiga modal tersebut tentu yang paling tinggi adalah akal. Namun perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki potensi intelektual yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan menjadi penting, karena lapangan pekerjaan yang paling banyak adalah yang berkaitan dengan keterampilan (skill). Bahkan di era revolusi industri, kebutuhan tenaga kerja terampil sangat dibutuhkan.
Memang pendidikan kejuruan sangat dinamis, karena mengikuti perkembangan teknologi yang sangat pesat. Pendidikan kejuruan yang tidak mengikuti perkembangan teknologi, sudah pasti akan ketinggalan, sehingga lulusannya sulit memasuki dunia kerja. Oleh karena itu, pendidikan SMK harus didukung dengan teknologi yang terbaru sebagai peralatan praktek (laboratium). Konsewensinya, pendidikan kejuruan membutuhkan beaya yang mahal untuk menyediakan peralatan praktek yang sesuai dengan perkembangan teknologi.
Sekolah kejujuran yang dikelola masyarakat, biasanya mengalami masalah pada ketersdiaan peralatan praktek yang sudah out of date. yang sudah ketinggalan atau tidak sesuai bidangnya. Sementara sekolah kejuruan yang dikelola oleh masyarakat, jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan sekolah yang dikelola oleh pemerintah. Dari 2.132 SMK di Jawa Timur hanya 297 yang negeri, sedangkan yang swasta berjumlah 1.835. Dengan jumlah siswa 759.791, yang di negeri sebanyak 325.175 sedangkan yang di sekolah swasta ada 434.616 siswa. (http://datapokok.ditpsmk.net/dashboard/kab?kode_prov=050000). Dengan kondisi seperti ini, lulusan SMK akan sulit masuk dunia kerja yang membutuhkan keterampilan (skill) sesuai dengan teknologi yang ada di industri. Selain kerjasama dengan dunia isdustri, keterlibatan dan dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam pendanaan SMK sangat dibutuhkan, agar kualitas lulusan SMK bisa terserap di dunia industri.
Di sisi lain, pendidikan akademik di Sekolah Menengah Atas, kurang mendorong peserta didik untuk menjadi pembelajar, dan mengajarkan berpikir kritis. Kurikulum 2013 yang sebenarnya menekankan kepada cara berpikir keilmuan (scientific thinking) dalam prakteknya banyak mengalami kendala. Para kuru kurang terampil dalam menjalankan tugas sebagai stimulator bagi pemikiran kritis peserta didik. Keterampilan berpikir para guru juga perlu dilatih, sehingga mampu berpikir kritis yang ditandai dengan banyak pertanyaan, mampu menganalisis suatu fenomena, dan mengambil kesimpulan.
Menurut Prof Arif Satria (Rektor IPB) Pendidikan akdemis harus mampu mendorong setiap orang untuk menjadi pembelajar yang cerdas (Agil Leaner). Kebebasan untuk berpikir (bertaya dan berpendapat) harus diberikan seluas-luasnya kepada peserta didik. Mereka harus merdeka dalam belajar, tugas guru adalah mendorong dan membimbing peserta didik agar mampu berpikir secara sehat dan benar (Scientific thinking). Kebebasan berpikir inilah yang menyebabkan Eropa menjadi negara maju dan lahirnya revolusi industri.
Pengetahuan memang penting tetapi yang lebih penting adalah cara berpikir. Pengethuan akan mudah hilang dan usang tetapi cara berpikir tidak akan ketinggalan. Cara berpikir ini yang justru mampu menghasilkan temuan-temuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi. Berpikir merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan (warsono). Cara berpikir tetap, dari jaman Yunani Kuno sampai saat ini yaitu dengan menjawab pertanyaan what, who, where, when, why dan how, yang dikenal dengan 5 W + 1 H. Dari pertanyaan tersebut yang lebih berkaitan dengan ilmu dan penemuan adalah what, how dan why.
Kemauan bertanya sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah. Setiap anak memiliki rasa ingin tahu (curiosity), namun dalam prakteknya rasa ingin tahu tersebut justru mati sejalan dengan perkembangan kedewasaan dan tingkat pendidikan. Model pendidikan yang tidak membebaskan inilah yang dikritik oleh Paulo Freeire maupun Ivan Ilich. Menurut mereka pendidikan justru membatasi kreatifitas, yang berawal dari bertanya (rasa ingin tahu). Kritik yang sama juga pernah disampaikan oleh Prof Sartono Kartdirdjo. Padahal kreatiftas jelas menjadi salah satu keunggulan manusia.
Pendidikan nasionalisme
Pendidikan nasionalisme merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan dalam rangka menumbuhkan kesadaran sebagai suatu bangsa. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia perlu terus ditanamkan melalui pendidikan, agar generasi muda yang tidak mengalami proses perjuangan membangun negara bangsa bangga sebagi bangsa Indonesia.
Indonesia merupakan bangsa yang multicultural dengan keanekaragman suku, budaya dan agama. Rasa keterikatan sebagai satu bangsa harus terus kita jaga, agar tidak mudah tersulit konflik sosial maupun politik yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan. Indonesia juga memiliki walayah yang sangat luas dengan pesona alam yang luar biasa. Kekayaan budaya dan pesona alam tersebut bisa menjadi modal bagi pembangunan ekonomi, melalui pengembangan industry pariwisata.
Indonesia juga negara yang memiliki kekayaan alam yang luar bisa. Berbagai bahan tambang ada di bumi Indonesia. Indonesia juga memiliki keragaman flora dan fauna. Semua itu merupakan anugerah Tuhan yang harus dikelola dengan baik agar memberi kesejahteraan kepada bansga Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam itu membutuhkan pengetahuan dan tanggungjawab moral agar tidak merugakan anak cucu kita.
Pendidikan nasionalisme bukan hanya untuk menumbuhkan rasa cinta dan bangsa terhadap bangsa, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Pendidikan yang bagaimana?
Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah satu cara untuk mengembangkan sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan. Tetapi pendidikan yang bagaimana yang bisa menghasilkan sumber daya manusia yang unggul?. Bertolak dari konsep manusia unggul yang dirumuskan oleh Undang undang Sisdiknas yaitu manusia yang relegius (bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas (berilmu, cakap, kreatif), berkarakter (mandiri, berakhlaq mulia, demokratis, dan bertanggungjawab dan sehat, maka fokus pendidikan hanya pada empat hal utama, yaitu meningkatkan ketagwaan, mengembangkan kemapuan berpikir dan membentuk karakter serta membangun nasionalisme .
Ketaqwaan harus diarahkan kepada kesadaran untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan agma. Pendidikan agama harus sampai kepada kesadaran bahwa menajalankan ajaran dan meninggalkan agama itu wajib dilakukan. Keyakinan dan kesadaran bahwa ada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Kehidupan di akhirat (surga dan neraka) sangat ditetukan oleh apa yang kita lakukan di dunia. Keyakinan dan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanyalah sebagai cara untuk menuju kehidupan akhirat harus benar-benar tertanam kuat dalam setiap peserta didik. Mata pelajaran yang berkaitan secara langsung dengan ketaqwaan adalah agama.
Kemampuan berpikir harus diarahkan kepada peningkatan daya kritis dan kreatif peserta didik dengan memberi kebebasan untuk membiarkan rasa ingin tahunya. Penanamkan kemampuan berpikir dan membangun pembelajar yang cerdas (Agil Leaner) jauh lebih penting daripada menambah pengetahuan. Dengan menjadi pembelajar yang cerdas, anak akan menjadi “mesin produksi” yang dapat menghasilkan berbagai inovasi. Mata pelajaran yang berkaitan langsung dengan cara berpikir adalah matematika. Matematika mengajarkan bagaimana cara berpikir secara deduksi.
Pembentukan karakter menjadi bagian terpenting dari proses pendidikan, karena tanpa karakter yang baik, manusia akan menjadi monster-monster bagi yang lain. Diantara pendidikan karakter yang harus ditanamkan adalah nasionalisme, rasa cita dan bangga teradap bangsa dan negaranya sendiri. Tanpa nasionalisme yang kuat, suatu warga negara tidak memiliki loyalitas terhadap bangsa dan negaranya. Mata pelajaran yang berkaitan langsung dengan karakter nasionalisme adalah pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan.
Pendidikan karakter ini harus dimulai sejak disini dan terus dilakukan sampai di perguruan tinnggi. Tentu karakter apa dan bagaimana metodenya harus disesuaikan dengan tingkat usia anak atau jenjang pendidikan. Pada pra sekolah, bisa ditanamkan kemandirian, kejujuran, dan tanggung jawab lebih dahulu. Pada jenjang pendidikan yang rendah yang ditanamkan lebih dulu adalah karakter-karakter kongkrit yang bisa dipraktekan. Karakter-karakter yang abstrak seperti nasionalisme bisa ditanamkan pada jenjang pendidikan yang tinggi, misal di jenjang SMP atau SMA.
M. Nuh pernah mengatakan bahwa ada suatu yang tidak berubah, yaitu karakter, Namun saya ingin menambahi pendapat Beliau, bahwa berpikir juga merupakan suatu yang tidak berubah. Dari Jaman Yunani Kuno sampai saat ini berpikir hanya menjawab pertanyaan 5 W dan 1 H. Berpikir selalu diawal dari bertanya. Oleh karena itu, James Ryan salah seorang Dekan Fakultas Pendidikan di Harvard University mengatakan bahwa bertanya lebih penting dari jawaban. Kemauan dan kemampuan bertanya secara kritis (terus menerus) menjadi modal untuk pengembangan dan penemuan dalam bidang ilmu dan teknologi.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia unggul di Jawa Timur, perlu penguatan pendidikan kejuruan dengan melengkapi peralatan praktek (laboratirum) dengan teknologi yang terbaru. Sementara untuk pendidikan SMA, perlu penekanan kepada kemampuan berpikir kritis dan kreatif dengan memberi kebebasan bertanya dan berpendapat. Tentu pendidikan karakter dan ketaqwaan merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan.
Rujukan
Crandell, L. Thomas; Crandell H. Corrine; and Zanden W.V. James. 2009. Human Development. New York. McGraw-Hill
Freeire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.
Hanief Saha Ghafur, Pendidikan karakter Kepemimpinan Terbaik dalam http://www.nu.or.id/post/read/105609/pbnu-sebut-kepemimpinan-sebagai-pendidikan-karakter-terbaik.
Hartoko, Dick. (ed). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta: kanisius.
Johnson, P. Doyle. 2008. Contemporary Sociological Theory, An Integrated Multi-Level Approach. Texas Tech University: Springer.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Banga tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media
Latif, Yudi. 2020. Pendidikan yang Berkebudayaan Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: Gramedia
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character. New York: Bantam Books
Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Ryan, E. James. 2017. Wait, What? and Life’s Other essesntial Questions. New York: Harper Collin Publisher.
Tang, T., Vezzani, V., & Eriksson, V. (2020). Developing critical thinking, collective creativity skills and problem solving through playful design jams. Thinking Skills and Creativity, 37, 100696. https://doi.org/10.1016/j.tsc.2020.100696
Warsono, 2014. Pancasila-isme dalam Dinamika Pendidikan. Unesa: University Press.
Warsono, 2020. Logika Cara Berpikir Sehat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.