oleh Prof Dr. Warsono, MS
Jika kita mengacu kepada filsafat Pancasila, konsep manusia adalah makhluk yang monopluralis (Notonagoro). Dalam konsep tersebut, manusia terdiri dari tiga kodrat, yaitu pertama, susunan kodrat yang terdiri jiwa dan raga. Kedua adalah sifat kodrat, yaitu sebagai individu dan makhluk social. Ketiga adalah kedudukan kodrat yang terdiri dari makhluk pribadi dan makhluk Tuhan.
Jiwa terdiri dari akal, rasa dan karsa. Akal sebagai sarana untuk mencari kebenaran, karsa sebagai alat dan dorongan untuk mencari kebikan, serta rasa adalah dorongan untuk mencari dan keindahan. Dengan jiwa inilah manusia bisa membedakan benar-salah, baik-buruk, dan indah-tidak indah. Akal yang menjadi instrument untuk berpikir yang menghasilkan ilmu dan teknologi, yang dapat membantu manusia mengatasi kesulitan.
Raga manusia terdiri unsur benda mati yang meberi bentuk, unsur tumbuhan yang menyebabkan manusia bisa tumbuh dari kecil menjadi besar, dan unsur kebinatangan yang menyebabkan manusia bisa bergerak berpindah tempat.
Dalam sifat kodrat manusia, sifat individu merupakan dasar dari ke-aku-an, yang menyebabkan manusia bisa berposisi sebagai subyek dan menjadikan yang lain sebagai obyek. Ke-aku-an juga menjadi dasar munculnya kepemilikian, yang bisa menjadi sumber keserakahan dan kesewenang-wenangan. Sementara sifat sosialnya, menyebabkan manusia tidak bisa sendirian, yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Sehingga manusia harus selalu hidup Bersama (living to gather). Dalam hidup bersama itulah dibutuhkan kesetaraan dan kesederajatan.
Kedudukan kodratnya sebagai makhluk pribadi memiliki kebebasan yang dianugerahkan oleh Tuhan yang Maha Esa. Kebebasan ini merupakan hak azasi setiap orang, yang juga harus dihormati. Meskipun demikian kebebasan tersebut bukannya tanpa batas, tetapi dibatasi oleh kedudukannya sebagai makhluk Tuhan yang tidak abadi. Ketidakabadian itulah yang menyebabkan manusia mengalami penuaan dan akhirnya kematian. Kebebasan tersebut juga dibatasi oleh raga, sebagai pelaksananya. Semakin tua manusia semakin sempit kebebasannya, karena tidak semua kehendaknya bisa diwujudkan. Di sisi lain, kebebasan juga dibatasi oleh sifat kodratnya sebagai makahluk sosial, yang harus menghargai dan menghormati kebebasan orang lain. Oleh karena itu, selalau ada kesepakatan dalam hidup bersama.
Dalam kodrat manusia ada sifat positif dan negatif. Raga, sifat indiviidu dan makhluk pribadi merupakan sifat-sifat negatif, yang menyebabkan terjadinya konflik dan ketidakbahagiaan. Sedangkan jiwa, makhluk social dan sebagai makhluk Tuhan merupakan sifat positif yang bisa membawa manusia kepada kebahagiaan. Dari dua sifat tersebut seakan manusia merupakan perpaduan antara “malaikat” dan “syetan”, satu sisi baik dan satu sisi buruk.
Pendidikan tentu akan mengembangkan sisi baik manusia, dan menghambat sisi buruknya. Jiwa, sifat social dan relegiusitas merupakan sisi-sisi baik yang harus ditumbuhkembangkan melalui Pendidikan. Dalam unsur jiwa akal budi (akal, rasa dan karsa) harus dikembangkan dengan cara menggerakan akal untuk terus berpikir kritis, kreatif dan inovatif. Akal bukanlah “Gudang” yang hanya sia diisi, tetapi akal merupakan “mesin” yang bisa memproduksi pengetahuan, sebagaimana yang diteorikan oleh para penganut konstruktivisme.
Di sisi lain akal juga didorong untuk berpikir analistis, reflektif dan abstraktif. Kemampuan berpikir kreatif yang akan menghasilkan pembaharuan (inovasi) dalam bidang teknologi. Semntara berpikir analitis, abstraktif dan reflektif akan menghasilkan teori-teori baru sebagai penjelasan atas fenomena alam dan sosial.
Meskipun demikian berpikir juga merupakan keterampilan yang harus dilatih. Salah satu cara untuk melatih keterampilan berpikir adalah dengan melatih bertanya, karena berpikir pada hakikatnya adalah proses mencari jawaban atas pertanyaan. Dengan bertanya itu, seseorang akan memperoleh pengetahuan, sebagaimana yang diktakan oleh Einstains bahwa bertanya adalah 50% dari pengetahuan, Artinya orang yang banyak bertanya akan memiliki banyak pengetahuan.
Memang kata tanya yang disediakan untuk bertanya hanya what, where, when, who, why dan how (5W dan 1H), tetapi tidak akan habis dipakai. Dan tidak ada pertanyaan yang salah, yang ada adalah pertanyaan yang kurang jelas dan kurang mendalam. Oleh karena itu, perlu latihan untuk membuat pertanyaan yang jelals, kritis dan mendalam.
Jika kita mengacu kepada konsep Aristoteles, bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi (men is an animal rational), dan mengacu kepada pendapat Rene Descartes: Cogito Ergo Sum (aku ada sebagai manusia karena aku berpikir), jekas bahwa berpikir merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dan sekaligus yang menjadi keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain. Oleh karena itu, setiap anak dianugerahi oleh Allah dengan rasa ingin tahu (couriusity).
Meskipun setiap anak telah dianugerahi rasa ingin tahu, namun pendidikan seringkali justru membunuh anugerah tersebut. Hal ini bisa kita lihat di sekolah. Semakin tinggi level sekolah, anak semakin kehilangan rasa kritis dan gairah untuk bertanya. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, anak akan kehidupan daya kreasi dan inovasinya.
Unsur jiwa lain yang harus dikembangkan melalui Pendidikan adalah karsa dan rasa. Dua hal ini merupakan wilayah etika. Etika harus dijadikan sebagai pendamping bagi ilmu dan teknologi, karena ilmu tanpa etika, akan menjadi monter yang merusak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Einstain, bahwa ilmu tanpa agama (etika) buta, yang berarti akan menimbulkan kerusakan dan tidak bermanfaat bagi manusia.
Antara Etika dan pemikiran (ilmu dan teknologi) tidak bisa dipisahkan, keduanya akan saling melengkapi. Etika memberi arah bagi penggunaan ilmu dan teknologi. Sedangkan ilmu dan teknologi akan memberi penguatan terhadap etika. Apa yang baik bagi kehidupan bisa dijelaskan dengan nalar yang sehat. Misal, mengapa kita harus jujur, tanggung jawab, dan toleran, bisa dijelaskan secara logika, dengan menggunkan logika (If) jika meminjam istilah Randall Munroe. Sebagai contoh, Apa yang terjadi jika kita semua tidak jujur, tidak bertanggung jawab dan tidak toleran? Akal bisa menjawab dan menjelaskan akibatnya, terhadap kehidupan bersama, jika kita semua tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dan tidak toleran.
Pengembangan jiwa harus disertai dengan pembinaan raga, agar tetap sehat, karena jiwa tidak akan bisa eksis (aktif) jika tidak ada di dalam raga, sebagaimana yang dikatakan oleh Descartes bahwa jiwa itu terpenjara dalam raga. Raga yang tidak sehat bisa mengganggu kinerja jiwa. Oleh karena itu, menjaga kesehatan raga juga merupakan bagian penting untuk menjaga optimalisasi kinerja jiwa.