Oleh: Prof. Dr Warsono, MS

Terminologi merdeka belajar saat ini sedang menjadi topik pembicaraan di kalangan pendidik, sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan yang berkaitan dengan perubahan kurikulum dari Kurikulum 2013 yang sering disebut dengan K-13 menjadi kurikulum merdeka belajar (KM). Sebagai istilah baru dan kebijakan baru tentu menimbulkan banyak persepsi dan pemahanan yang beragam, mulai dari yag sangat paham sampai ke yang sangat tidak paham di kalangan para guru. Perbedaan ini tentu akan berdampak kepada keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh si pembuat kurikulum. Hal ini disebabkan para guru adalah pelaksana dari kurikulum tersebut. Apa yang dilakukan oleh guru tentu tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan dan pemahamanan mereka.
Jika menyimak secara terminology maka kata merdeka belajar merupakan gabungan dari kata merdeka dan belajar. Merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna, diantaranya adalah bebas (dari penjajahan), berdiri sendiri; lepas dari tuntutan; dan tidak tergantung kepada orang lain. Merdeka juga bisa dimaknai sebagai bebas dari (freedom of) dan bebas untuk (freedom for), Ini artinya orang yang merdeka tidak lagi terikat atau terkurung oleh suatu dogma dan memiliki kebebasan untuk menentukan kehendak sendiri,
Sedangkan belajar menurut Schunk memiliki makna sebagai proses perubahan perilaku yang bertahan lama atau dalam kapasitas untuk bertingkah laku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari latihan atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Lebih lanjut Schunk menyatakan bahwa belajar melibatkan perolehan dan modifikasi pengetahuan, keterampilan, strategi, keyakinan, sikap, dan perilaku. Ini berarti perubahan perilaku akan sangat berkaitan dengan pengalaman, cara berpikir dan pengetahuan. Pengalaman seseorang akan membentuk suatu perilaku sebagai hasil dari belajar, sebagaimana yang sering diwacanakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Dalam artian negatif, ada pepatah bahwa keledaipun tidak akan terantuk batu yang sama untuk kedua kalinya. Sedangkan dalam arti positif, seperti eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov bahwa anjing akan mengulangi suatu tindakan (pengalaman) yang menguntungkan atau menyenangkan.
Perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh pengetahuan, sehingga perubahan dengan cara menambah pengetahuan dilakukan dalam pendidikan. Sejalan dengan perubahan pengetahuan seseorang, perilakukan juga akan berubah. Secara philosofis pengetahuan bersumber dari pengalaman (paham empirisme) dan pemikiran (paham rasionalisme). Paham rasinolisme menyatakan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil dari proses berpikir. Paham ini juga telah ditegaskan oleh para penganut paham kontruktivisme dalam pendidikan yang menyatakan bahwa anak bisa membangun pengetahuan baru dari lingkungan sosialnya.
Dari pemahaman terhadap masing-masing kata, maka merdeka belajar bisa dimaknai sebagai kebebasan dari dan kebebasan untuk mencari pengalaman, pengetahuan dan berpikir, tanpa harus terikat oleh dogma atau kekuatan yang memaksa di luar dirinya. Merdeka ini sejalan dengan kodrat manusia yang oleh Allah, Tuhan Yang Maha Esa diberi kebebasan, yang kemudian dikenal dengan hak azasi manusia. Selain kebebasan, setiap anak juga diberi potensi kecerdasan yang berbeda sebagaimana yang dikemukakan oleh Gardner, bahwa ada multiple intellegency. Setidaknya Gardner telah menyebutkan ada delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan logika-matematika, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, linguistic, spatial, musikal dan naturalis. Potensi tersebut harus dikembangkan melalui pendidikan agar bisa menjadi modal dalam menghadapi masa depan, termasuk menjadi modal bagi kemajuan suatu negara.
Oleh karena itu tidak terlalu keliru, jika merdeka belajar dimaknai anak bebas untuk belajar sesuai dengan potensinya masing-masing. Mereka yang memeiliki potensi kepada kecerdasan musical biarlah mengembangkan potensinya untuk menjadi seniman. Mereka yang memiliki keunggulan potensi kinestetik biarkan memilih menjadi atlit, dan mereka yang memiliki kecerdasan logika-matematika biarlah memilih menjadi seorang pemikir atau profesi yang membuthkan kecerdasan logika dan matemati. Jangan dipaksakan kedalam keseragaman atau diikat dengan aturan-aturan bisa mematikan keberagaman.
Namun di sisi lain, bahwa kebebsan untuk (freedom for) tidak harus dimaknai kebebasan untuk berbuat dan bersikap semau-maunya tanpa dilandasi oleh pemikiran atau pengetahuan. Jangan sampai kebebsan ini kemudian dimaknai bebas untuk tidak belajar, atau berbuat sesukanya termasuk melanggar norma. Pilihan sikap dan tindakan harus didasari oleh pengetahuan atau pemikiran. Dengan demikian kebebasan untuk disini harus dimaknai kebebasan untuk berpikir, (bertanya). Dengan cara tersebut akan dihasilan pengetahuan dan ilmu sebagai dasar untuk bersikap dan bertindak.
Kebebasan berpikir telah dipelopori oleh bangsa Yunani, yang bebas untuk mempertanyakan apa saja. Dari kebebsan berpikir tersebut telah menghasilkan pengetahuan dan ilmu serta filsafat yang sampai sekarang masih menjadi rujukan dalam dunia akademik. Tradisi kebebasan berikipir yang dilakukan orang orang pada jaman Yunani Kuno itulah yang kemudian dituntut oleh bangsa Eropa ketika menghadapi kungkungan dogma agama. Cengkeraman dogma agama yang terjadi pada Abad Tengah, telah mematikan akal manusia. Akal harus tunduk kepada dogma agama. sehingga tidak mampu menghasilkan ilmu dan teknologi. Kondisi tersebut mendorong adanya suatu gerakan pembebasan yang disebut dengan Renaissance. Bahkan di Jerman gerakan itu lebih tegas dengan semboyan Aufklarung yaitu berani berpikir.
Hasil dari kebebasan perpikir tersebut telah melahirkan berbagai temuan dalam bidag ilmu dan teknolog yang kemudian kita kenal dengan revolusi industri, yang sampai sekarang telah sampai pada tahap 4.0. Hal pemikiran manusai berupa ilmu dan teknologi telah menghasilkan perubahan yang sangat cepat (revolusioner). Selain revolusi industri, kita juga mengenal berbagai revolusi sebagai akibat dari pemikiran mansuai, seperti revolusi hijau dalam bidang pertanian, revolusi politik dan revolusi kebudayaan. Kebebasan untuk berpikir telah membawa perubahan besar, yang sekaligus menjadi tantangan untuk setiap generasi agar bisa survive dan tidak ditelan oleh perubahan itu sendiri. Perubahan memang merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dibendung, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengatasi tantangan yang diberikan oleh perubahan tersebut.
Peran Guru
Sejalan dengan perubahan kurikulum, peran guru juga mengalami perubahan. Guru tidak lagi menjadi pusat (teacher center) tetapi guru menjadi penggerak bagi siswa untuk mengembangkan potensinya dan menjadi pembelajar. Inilah yang memunculkan konsep guru penggerak, yaitu menggerakan siswa untuk mengembangkan kecerdasannya atau pemikirannya. Berpikir meruapakan aktivitas akal yang diawali dengan bertanya, sehingga berpikir bisa dikatakan suatu suatu proses untuk menjawab pertanyaan yaitu 5W dan H.
Tuags guru adalah menggerakan kemampuan berpikir siswa dengan melatih kemampuan dan mendorong kemamuan untuk bertanya. Tugas guru bukan sekedar melakukan pemindahan pengetahuan, tetapi mendorong siswa untuk berani bertanya dan berpendapat (berpikir). Untuk itu guru harus membebaskan siswa dari ketakutan untuk bertanya dan berpendapat salah. Paradigma bahwa bertanya itu bodoh harus dihapus dan diganti dengan paradigma bertanya itu cerdas. Dengan semakin banyak bertanya (kritis) akan menghasilkan kreatifitas yang pada gilirannya akan menghasilkan inovasi.
Kemampuan bertanya ini sebebarnya sudah dimasukan dalam kurikulum 2013, dengan konsep 5 M (mengamati, membuat pertanyaan, mengumpulkan data, menganalis data, dan mengambil kesimpulan serta menulis laporan). Sayangnya kompetensi ini belum dimiliki dan menjadi budaya untuk semua guru. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa belum semua guru mampu menjadi guru penggerak, yang memiliki kreatifitas dan inovasi untuk mendorong siswa mengembangkan potensi kecerdasannya.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Gardner bahwa ada multiple kecerdasan, yang berarti dalam satu kelas atau sekolah pasti akan ada keberagaman siswa dengan keunggulan kecerdasannya masing-masing. Disamping multiple kecerdasan juga ada variasi gaya belajar siswa, yaitu ada gaya belajar kinestetik, oudio, dan visual, yang tentu membutuhkan metode pembelajaran yang berbeda. Oleh karena itu guru harus mengembangkan pembelajaran berdiferensiasi, sesuai dengan variasi kecerdasan siswa. Persoalannya para guru tidak paham, atau setidaknya tidak memiliki data tentang potensi kecerdasan yang dimiliki oleh siswanya. Lalu bagaimana guru bisa mengembangkan pembelajaran yang berdeferensiasi?. Di sisi lain, para siswa juga tidak mengetahui keunggulan potensi kecerdasanya sendiri. Kondisi ini bisa diibaratkan dua orang buta yang sedang berjalan bersama yang tentu akan mengalami kesulitan menemukan jalan yang harus dilalui untuk menecapai tujuan.
Data tentang potensi kecerdasan siswa bisa diperoleh dengan cara melakukan test kecerdasan, yang teknik dan ilmunya sudah ada. Melalui test psikologi yang berkaitan dengan pengukuran kecerdasan bisa diketahui potensi setiap anak. Dengan demikian guru bisa menggunakan data tersebut untuk mengembangkan pembelajaran yang tepat dan bisa membimbing siswa untuk mengembangkan potensinya.
TWR 8 Mei 2023